Jakarta, Metapos.id – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah kembali meningkat pada Mei 2024 menjadi Rp8.353,02 triliun.
Angka tersebut bertambah Rp14,59 triliun atau naik sekitar 0,17 persen jika dibandingkan pada April 2024 yang sebesar Rp8.338,43 triliun.
Adapun, pada Mei 2024 rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,71 persen atau meningkat dari rasio utang terhadap PDB bulan sebelumnya yang sebesar 38,64 persen.
Kemenkeu menyatakan pemerintah mengelola utang secara cermat dan terukur untuk mencapai portofolio utang yang optimal dan mendukung pengembangan pasar keuangan domestik.
Oleh sebab itu, rasio utang per akhir Mei 2024 ini tetap konsisten terjaga masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara dan terus menunjukkan tren penurunan dari angka rasio utang terhadap PDB 2021 yang tercatat 40,74 persen, 2022 di 39,70 persen dan 2023 di 39,21 persen serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2024-2027 di kisaran 40 persen.
Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif.
Per akhir Mei 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturiy/ATM) di 8 tahun.
“Pengelolaan utang yang disiplin turut menopang hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit (S&P, Fitch, Moody’s, R&I, dan JCR) yang hingga saat ini tetap mempertahankan rating sovereign Indonesia pada level investment grade di tengah dinamika perekonomian global dan volatilitas pasar keuangan,” jelasnya dalam laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KIta, dikutip Selasa, 2 Juli.
Selaras dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap, mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,12 persen.
Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 87,96 persen.
Hingga akhir Mei 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar Rp7.347,50 triliun.
Penerbitan ini terbagi menjadi SBN domestik yaitu sebesar 70,69 persen dan SBN valuta asing (valas) sebesar 17,27 persen.
Dalam laporan tersebut, SBN Domestik sebesar Rp5.904,64 triliun yang terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp4.705,24 triliun serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp1.199,40 triliun.
Sedangkan, SBN Valas sebesar Rp1.442,85 triliun dengan rincian, SUN sebesar Rp1.086,55 triliun dan SBSN senilai Rp356,30 triliun.
Selain itu, utang pemerintah tersebut ada juga berasal dari utang pinjaman pemerintah yaitu sebesar12,04 persen atau sebesar Rp1.005,52 triliun dengan rincian pinjaman dalam negeri sebanyak Rp36,42 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp969,10 triliun.
Adapun untuk pinjaman luar negeri, rinciannya yakni pinjaman bilateral sebesar Rp265,83 triliun, pinjaman multilateral Rp584,65 triliun, dan pinjaman commercial bank sebesar Rp118,62 triliun.
Kemenkeu menjelaskan pasar SBN yang efisien akan meningkatkan daya tahan sistem keuangan Indonesia terhadap guncangan ekonomi dan pasar keuangan. Dengan aktivitas pembiayaan utang melalui penerbitan SBN, pemerintah turut mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik.
“SBN turut menyediakan referensi untuk menentukan harga instrumen pasar keuangan lainnya dan digunakan oleh para pelaku pasar untuk mengelola risiko suku bunga,” tulisnya.
Per akhir Mei 2024, lembaga keuangan memegang sekitar 41,9 persen kepemilikan SBN domestik, terdiri dari perbankan 22,9 persen dan perusahaan asuransi dan dana pensiun 18,9 persen.
Sementara bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu instrumen mitigasi risiko.
Sebagai informasi, kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia sekitar 22,2 persen yang antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter.
Sementara asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,1 persen termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
Sejalan dengan upaya pemerintah memperluas basis investor, inklusi keuangan dan peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society, kepemilikan investor individu di SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya di bawah 3 persen menjadi 8,5 persen per akhir Mei 2024.
“Sisa kepemilikan SBN domestik dipegang oleh institusi domestik lainnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan keuangan institusi bersangkutan,” katanya.