Jakarta, Metapos.id – Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencatat, ekspor alas kaki RI meningkat hingga 64,5 persen selama satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ekspor alas kaki lndonesia meningkat pesat mencapai 64,5 persen,” ujar Ketua Umum Aprisindo Eddy Widjanarko dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 15 Oktober.
Eddy mengatakan, pertumbuhan pesat ekspor alas kaki selama pemerintahan Presiden Jokowi tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kebijakannya yang ‘berani’.
Seperti, penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Pembangunan Infrastruktur Secara Masif, khususnya Jalur Tol Trans Jawa menjadi game changer awal yang mampu menahan laju relokasi industri padat karya keluar dari Indonesia.
Lalu, penandatanganan PP Nomor 78 Tahun 2015 oleh Presiden Jokowi, yang mana regulasi ini setidaknya berhasil memberikan jaminan keterukuran kenaikan upah minimum karena telah ditetapkan dalam sebuah formula perhitungan.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga telah menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja, yang salah satunya melakukan deregulasi perundangan bidang ketenagakerjaan. Pengaturan pada bidang ketenagakerjaan mampu memberikan daya tarik yang kuat bagi industri alas kaki untuk berinvestasi di lndonesia.
“Meskipun seharusnya selama satu dekade pertumbuhan ekspor alas kaki bisa mencapai dua kali lipat,” katanya.
Meskipun struktur industri alas kaki saat ini sedang berada on the right track dan tengah dalam pertumbuhan, kata Eddy, namun masih ada sejumlah kendala yang menjadi tantangan bagi kemajuan investasi industri alas kaki lndonesia.
“Ekspor Indonesia ke pasar utama di Uni Eropa masih terbebani bea masuk yang tidak kompetitif,” ucapnya.
Di sisi lain, bahan baku yang kompetitif masih menjadi penghambat dalam peningkatan ekspor alas kaki lndonesia.
Namun demikian, katanya, dukungan fasilitas kemudahan impor untuk tujuan ekspor dalam bentuk kawasan berikat telah mampu memudahkan aksesibilitas terhadap impor bahan baku yang kompetitif untuk industri.
Sayangnya, tidak semua industri dapat mengakses fasilitas kawasan berikat.
“Sehingga industri dalam negeri, khususnya yang merupakan perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sulit bersaing untuk pasar ekspor dan domestik,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Eddy, permasalahan klasik birokratisasi perizinan usaha juga masih akan menjadi hambatan investasi masuk.
“Misalnya hingga saat ini untuk mendapatkan izin lingkungan masih perlu waktu lama bahkan bisa mencapai hingga dua tahun dan dengan biaya sangat mahal,” imbuhnya.