Metapos, Jakarta – Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) melaksanakan perundingan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement / IUAE-CEPA).
Celakanya, UEA mengajukan opsi penurunan bea masuk (bisa sampai nol) untuk produk dengan kode HS 39. Kode tersebut adalah untuk bahan baku plastik di industri petrokimia.
Pemerhati Ekonomi dan Industri, Fauzi Aziz mengatakan bahwa setiap perjanjian bilateral di bidang ekonomi dan perdagangan selalu cenderung bersifat win – win.
“Jika ada indikasi merugikan bagi Indonesia, dan nilainya signifikan sebaiknya pemerintah harus membuying timekan hasil perundingan, misal dengan menunda atau pelaksanaannya atau di bidang yang menurut kita akan menekan pertumbuhan industri dalam negeri,” ungkap Fauzi
Mantan Dirjen IKM ini berpendapat bahwa kerja sama FTA tidak harus bicara trade, tapi lebih pas jika dirancang membangun kolaborasi dalam kerjasama investasi. Request dari Indonesia adalah joint venture Investasi di proyek substitusi impor. Jadi basenya adalah industrial cooperation antara UEA dan Indonesia.
“Kalau free trade yang akan seperti itu. Jadi master agreementnya kerjasama investasi. Dan output dari kerjasama investasi adalah ekspor dan mencukupi kebutuhan dalam negeri. sebaiknya strateginya diubah dari situ masuk isu local content dan yang masih belum akan diproduksi di dalam negeri bisa diberikan tarif 0%. Jujur, Indonesia butuh dana investasi dari UEA. Kalau joint venture pasti mereka mau,” tukas Fauzi Aziz.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira mengatakan klausul UEA agar Indonesia menurunkan bea masuk bahan baku plastik masih dapat dikaji dengan melihat sejumlah indikator.
“Masih terbuka peluang untuk negosiasi. Kendatipun ada permintaan supaya bea masuk dikurangin, tetapi kalau melihat kebutuhan dalam negeri, jangan sampai kontradiksi dengan rencana perluasan industri di Indonesia,” kata Bhima.
Menurutnya, sejumlah klausul masih bisa dikaji lebih dalam, seperti ongkos produksi serta beberapa potensi kehilangan investasi, yang dinilai diperhitungkan secara hati-hati dalam perundingan dengan UEA.
Selain itu, kata Bhima, posisi tawar Indonesia untuk melobi UEA untuk membangun pabrik petrokimia di Tanah Air sulit karena negara tersebut memiliki sumber yang melimpah untuk industri tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Indonesia berpotensi kebanjiran bahan baku plastik dari UEA. Sebab, rencana penurunan bea masuk komoditas itu ke RI diprediksi bisa mendongkrak impor bahan baku plastik dari UEA sekitar 50 persen.