Jakarta, Metapos.id – Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menyampaikan pemerintah terkesan terburu-buru dalam menawarkan konsesi dagang kepada Amerika Serikat (AS) di tengah kondisi ekonomi dalam negeri sedang melemah.
Menurutnya, konsumsi masyarakat saat ini menurun, pemutusan hubungan kerja terus terjadi, dan daya beli kelas menengah semakin terpuruk.
“Di tengah situasi ini, membuka pintu impor lebih lebar hanya akan memperlemah industri nasional yang seharusnya dilindungi,” ujarnya, 16 April.
Syafruddin menyampaikan langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih mencerminkan upaya meredakan tekanan dari luar negeri ketimbang memperkuat fondasi ekonomi domestik.
Menurutnya jika arah diplomasi perdagangan seperti ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan daya saing dan semakin bergantung pada kepentingan negara lain.
Untuk mengatasi pelemahan daya beli masyarakat, Syafruddin menyampaikan pemerintah perlu segera mengambil kebijakan yang terarah dan berdampak langsung.
Ia menambahkan hal ini bisa dimulai dengan memperkuat pendapatan riil masyarakat melalui penyesuaian upah dan bantuan sosial, serta menurunkan beban biaya hidup dengan pengendalian harga dan pemberian subsidi strategis.
Selain itu, Syafruddin menyampaikan belanja negara sebaiknya difokuskan pada program padat karya, penguatan UMKM, serta proyek-proyek dengan efek pengganda tinggi, dan pembangunan infrastruktur dasar.
Dalam situasi di mana kepercayaan konsumen menurun, stabilitas politik dan hukum juga harus dijaga agar masyarakat kembali percaya untuk membelanjakan pendapatannya.
“Dalam situasi kepercayaan konsumen yang menurun, pemerintah juga wajib menjaga stabilitas politik dan hukum agar publik kembali yakin untuk membelanjakan pendapatannya,” tegasnya.
Syafruddin menegaskan bahwa pemulihan daya beli bukan sekadar indikator pertumbuhan ekonomi, melainkan merupakan pilar penting bagi stabilitas sosial dan ketahanan nasional dalam menghadapi tekanan global yang semakin kompleks.