Metapos, Jakarta – Rancangan Undang-undang terkait Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) dikabarkaan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. RUU yang memiliki 339 pasar dan terakum dalam 24 bab ini dikabarkan bakal menjadi UU sapu jagad di sektor keuangan.
Ada pun beberapa isu yang dinilai krusial dalam RUU P2SK. Salah satunya terkait independensi lembaga otoritas keuangan, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia dalam menghadapi resesi global di tahun 2023.
Di sisi lain, pemerintah telah menjamin bahwa UU ini nantinya tidak akan menurunkan independensi lembaga otoritas keuangan. Namun, nyatanya dalam draft RUU P2SK masih terdapat beberapa pasal yang dinilai dapat mengancam independensi lembaga otoritas keuangan dan menimbulkan masalah ke depannya.
Pertama, RUU P2SK berencana menghapus larangan Anggota Dewan Gubernur BI untuk menjadi pengurus partai politik. Kedua, penambahan mandat BI untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang berpotensi menyulitkan BI dalam menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar, mengingat pertumbuhan ekonomi seringkali diikuti dengan kenaikan inflasi. Ketiga, pasal 11 RUU P2SK menyebutkan Anggota Dewan Komisioner (ADK) OJK diseleksi dan dipilih oleh DPR melalui panitia seleksi (pansel) yang juga dipilih oleh DPR. Mekanisme ini dinilai tidak ideal karena tidak ada prinsip check & balances antara eksekutif dan legislatif.
Melihat hal ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah berpendapat bahwa sangat penting untuk menjaga independensi lembaga otoritas keuangan. Ia menjelaskan aturan mengenai persyaratan Anggota Dewan Gubernur BI sudah pernah tertera dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 yang menegaskan independensi BI sebagai Bank Sentral yang bebas dari campur tangan Pemerintah atau pihak lain dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Sementara, terkait mekanisme seleksi ADK OJK oleh DPR melalui panitia seleksi (pansel), “Itu saya nggak sependapat. Seharusnya OJK itu sama dengan BI. Tidak perlu pakai pansel. BI nggak pakai pansel. Untuk Ketua dan Wakil Ketua Komisioner OJK cukup presiden yang mengajukan nama ke DPR,” kata Piter.
Sebelumnya, Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan turut berpendapat, “Bukannya mendorong penguatan lembaga dan sektor keuangan, tapi RUU P2SK justru malah berpotensi melemahkan dan merusak stabilitas sistem keuangan,” katanya Kamis (30/11).
Menurut Deni, apabila pasal ini tetap disahkan nantinya akan mengurangi independensi Bank Sentral dalam menjalankan mandat utama, yakni menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar, serta menjadikan indikator makro ekonomi sebagai pijakan utama, bukan tekanan dari partai politik tertentu. “Hal ini merupakan sebuah kemunduran yang luar biasa. Lembaga otoritas keuangan tersebut akan rentan diintervensi oleh partai politik, parlemen dan pemerintah,” kata Deni.
Deni juga menjelaskan bahwa sebelumnya dalam pemilihan kandidat ADK OJK, pemerintah terlebih dahulu membentuk panitia seleksi untuk kemudian diajukan oleh Presiden kepada DPR. “Kompromi atas independensi Bank Sentral dapat berakibat negatif bagi perekonomian suatu negara,” tutup Deni.
Hal ini terlihat dari pengalaman Turki yang mencabut independensi Bank Sentral Turki (TCMB). Sejak 2021, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan memerintahkan TCMB untuk menurunkan suku bunga berkali-kali, walaupun inflasi negara tersebut telah mencapai 36%. Hasilnya, inflasi Turki pada Oktober 2022 mencapai 85.51%, tertinggi dalam 24 tahun terakhir. Selain mencabut independensi TCMB, Erdogan juga mencabut peraturan yang mensyaratkan Deputi Gubernur TCMB harus memiliki pengalaman selama 10 tahun sebagai praktisi ekonomi moneter.
Senada, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad turut memberikan komentar terkait hal ini. “Misalnya saja bisa terjadi inside trader, orang menaikan suku bunga atau menaikan suku bunga ketika dia menjadi anggota dewan gubernur akan sangat mempengaruhi pelaku pasar, termasuk saat dia memiliki bank sendiri. Itu bisa jadi suatu hal yang merugikan,” jelas Tauhid.
Selain itu, Tauhid juga menjelaskan terkait independensi dari sisi kebijakan dimana keputusan akan lebih sulit diambil apabila ada kepentingan politik. Hal ini juga berpotensi menjadi area rent seeking sehingga keputusan yang diambil tidak akan berdasar pada objektivitas, tetapi hanya menguntungkan beberapa pihak. Oleh karena itu, ia berharap ketentuan itu dimasukkan lagi ke dalam UU P2SK.
Pengalaman Turki turut memperlihatkan pentingnya menjaga independensi bank sentral dan kredibilitas anggota dewan gubernur untuk menjamin stabilitas sistem keuangan dan juga perekonomian negara, terutama dalam menghadapi potensi resesi global tahun 2023.
Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak terburu-buru dalam penyelesaian pembahasan RUU P2SK, mengingat pembahasan perubahan peraturan turunan UU ini (Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, dll) bisa memakan waktu setidaknya 1 tahun. Akan lebih efektif jika pemerintah memaksimalkan koordinasi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menghadapi potensi resesi global 2023.