JAKARTA,Metapos.id – Pasca pandemi COVID-19, transformasi digital di seluruh sektor, khususnya sektor keuangan semakin masif. Untuk memaksimalkan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong pelaku industri untuk memanfaatkan besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia.
Adapun pada 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 210 juta atau sekitar 76,4 persen dari total populasi penduduk Indonesia.
“Transformasi digital mendorong perubahan pola konsumsi kami untuk semakin digital minded dan menjadi game changer penyediaan produk dan layanan keuangan kepada masyarakat, khususnya UMKM yang masih unbankable,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Bambang W. Budiawan melalui keterangan tertulisnya, dikutip Rabu, 12 April.
Bambang menyebut, inovasi keuangan digital yang dilakukan sektor jasa keuangan juga turut mendukung peningkatan inklusi keuangan, perluasan akses keuangan, dan pendalaman pasar keuangan.
Inovasi keuangan di sektor digital, meliputi perbankan digital, pinjaman berbasis digital (peer to peer lending), serta layanan urun dana untuk pembiayaan berbasis digital melalu securities crowdfunding dan inovasi keuangan digital lainnya.
“Dalam rangka mengakomodir inovasi itu, OJK concern bagaimana memitigasi risiko, khususnya risiko yang terkait digital, seperti risiko siber dan perlindungan konsumen,” ujarnya.
“Hal ini untuk mendorong sektor jasa keuangan memiliki model bisnis yang inovatif dan aman, memiliki kemampuan mengelola bisnis yang pruden dan sustainable, serta menerapkan kerangka manajemen risiko yang efektif,” tambah Bambang.
Dia menjelaskan, terdapat lima kewajiban pelaku industri jasa keuangan dalam penerapan manajemen risiko teknologi informasi. Pertama, mewajibkan kompetensi tertentu yang harus dimiliki Second Line of Defence, IT Auditor, Quality Assurance, hingga Risk Manager.
“Kedua, penilaian minim risiko IT yang dilakukan secara reguler dan komprehensif. Ketiga, guna meningkatkan independensi, penilaian dilakukan pihak ketiga dengan pendekatan berbasis risiko,” tuturnya.
Untuk keempat, lanjut Bambang, adanya pelaksanaan vulnerability assesment dan recovery exercise secara reguler. “Kelima, memiliki data center dan data recovery center di Indonesia, dan terakhir wajib menyusun rencana penggunaan IT sebelum diimplementasikan,” ungkapnya.
Sementara itu, Vice President Cybersecurity Telkomsigma Dedi Haryadi menyebut, untuk memaksimalkan efektivitas keamanan di ruang digital bisa dilakukan dengan mengimplementasikan Quad Helix.
Berdasarkan strategi ketahanan nasional yang bersumber dari BSSN, kata Dedi, disebutkan ada dua ancaman yang akan terjadi, yakni ancaman sosial yang akan menyerang masyarakat dan komunitas.
“Kemudian, ancaman teknis yang mengincar infrastruktur vital Indonesia, seperti aplikasi, software dan lain-lain. Tanggung jawab itu semua disebut quad helix,” ucapnya.
Quad helix merupakan kolaborasi atau kerja sama yang menghubungkan antara akademisi, pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat, yang mana tujuannya adalah menjaga transformasi digital Indonesia making 4.0 dan meningkatkan efektivitas kolaborasi.
“Kami di Telkomsigma terus mengembangkan beberapa hal terkait kolaborasi kami dengan beberapa sektor dan segmen yang ada. Pertama, kolaborasi CSIRT. Kedua, mengembangkan teknologi manage operation, serta kerjasama dengan akademisi untuk pencarian bakat, dan terakhir penelitian atau awareness pada komunitas dan masyarakat,” tandasnya.
Adapun dalam penerapannya, cybersecurity telah mencakup alat, kebijakan, dan konsep keamanan yang dapat digunakan untuk melindungi aset, data, dan pengguna organisasi.