JAKARTA,Metapos.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa masyarakat yang terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal tercatat cukup banyak, dan menyasar berbagai kalangan. Salah satunya adalah tenaga pendidik atau guru.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan, masyarakat yang banyak terjerat pinjol ilegal utamanya adalah kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Friderica mengatakan, salah satu profesi yang paling sering terjerat pinjol ilegal adalah guru. Selanjutnya ada Ibu Rumah Tangga.
Bahkan, kata Friderica, pinjol ilegal juga kerap menjerat masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Karena kalau kita lihat pinjol ilegal kan ada satu survei independen. Korbannya paling banyak nomor satu siapa? Guru. Kasihan ya. Kemudian korban PHK, jadi orang yang memang butuh. Dan juga ibu rumah tangga. Jadi kasian banget,” ucapnya dalam dialog Forum Merdeka Barat 9, Senin, 21 Agustus.
Lebih lanjut, Friderica mengatakan, profesi tersebut merupakan kelompok yang masuk kategori sangat rentan.
“Mereka sangat rentan,” ucapnya.
Sekadar informasi, pinjaman online ilegal merupakan salah satu jenis entitas yang masuk ke dalam aktivitas keuangan ilegal yang perlu diberantas.
Friderica mengungkapkan jumlah kerugian masyarakat akibat terjerat dari kegiatan keuangan ilegal menembus angka Rp139,03 triliun. Angka tersebut diambil dalam periode 2017 hingga 2022.
“Yang ilegal ini banyak sekali entitas-entitas ilegal yang disampaikan, bahwa angkanya lebih dari Rp100 triliun,” ucapnya.
Friderica menjelaskan, aktivitas keuangan ilegal ini terbagi ke dalam beberapa jenis entitas. Mulai dari investasi ilegal, pinjaman online (pinjol) ilegal, hingga gadai.
Kata dia, pihaknya bersama stakeholder terkait yakni pihak Kepolisian dan juga Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menghentikan 6.895 entitas sejak 2017 hingga 3 Agustus 2023.
Rinciannya, 1.194 investasi ilegal, 5.450 pinjol ilegal, dan 251 gadai ilegal.
Lebih lanjut, Friderica mengatakan, hal ini terjadi karena tingkat literasi keuangan pada masyarakat Indonesia masih sangat minim.
Untuk itu, sambung dia, OJK terus mendorong tingkat literasi keuangan dan digital pada masyarakat, agar mampu terhindar dari kejahatan entitas keuangan digital.
“Litetasi keuangan saat ini 49,6 persen, kalau litetasi digital baru 3,5 dari skala 1-5. Artinya masyarakat belum pintar-pintar banget,” katanya.
“Mereka belum bisa membedakan mana informasi yang benar atau enggak benar. Mereka belum smart dalam memilih dan memilah,” sambungnya.