JAKARTA,Metapos.id – Selama pandemi, industri perhotelan di Indonesia dibekap krisis yang dalam hingga membuat sejumlah hotel memilih berhenti beroperasi. Sebagian ada yang berusaha bertahan dengan berbagai jurus, seperti mengurangi gaji karyawan hingga 50% atau membayar karyawan tetap berdasarkan jam kerja.
Bahkan karyawan juga terpaksa bersedia melakukan tugas fisik yang jauh dari kompetensinya, seperti memelihara taman, menjadi pramusaji atau membersihkan fisik hotel.
Hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr. Paulina Lo, SE., M.M bertajuk Membangun Resiliensi Bisnis Perhotelan Berlandaskan Sumber Daya Crafting Strategy. Ia memaparkannya dalam Ujian Terbuka Disertasi Program Doktor Manajemen dan Kewirausahaan Universitas Prasetiya Mulya akhir pekan lalu.
Paulina menggelar penelitian dengan melibatkan ratusan manajer maupun pemilik hotel independen di Bali. Dalam risetnya, ia menemukan sejumlah manajer hotel yang berjibaku sekuat tenaga agar hotelnya tetap buka, meski tak ada dukungan dana dari pemilik hotel. Hasilnya, ada hotel bintang lima yang menjual bento hingga paket kolam renang. Bahkan hotel bintang tiga dijadikan rumah kos.
“Ketika Bali dibuka untuk turis secara mendadak, hotel-hotel yang memaksakan diri tetap beroperasi ini ternyata take profit lebih dulu dibandingkan hotel-hotel yang pernah tutup lalu beroperasi lagi setelah pandemi. Secara infrastruktur, hotel-hotel ini tetap terjaga baik karena saat pandemi para pekerja tetap merawat bangunan, AC dan barang-barang lain,” ujarnya.
Bahkan sejumlah hotel yang ia temukan dalam kategori ini berhasil meraup untung dan menutup kerugian dalam sembilan bulan saja setelah mengalami sepi pengunjung selama pandemi.
“Sementara itu, hotel-hotel yang memilih tutup selama pandemi harus berurusan dengan berbagai masalah kerusakan fisik dan peralatan dalam hotel. Bahkan ada pihak hotel yang mengaku bahwa persiapan pembukaan hotel setelah tidak beroperasi selama dua tahun membutuhkan dana hingga 80% dari investasi awal. Ini cukup berat. Belum lagi karyawan sudah banyak yang mengundurkan diri, pulang kampung atau pindah ke hotel lain,” tambahnya.
Penelitian Paulina juga memberi rekomendasi kepada pelaku industri perhotelan untuk berupaya memiliki sebanyak mungkin sumber daya manusia yang dapat disesuaikan dengan perubahan dan tantangan yang dihadapi.
Menurutnya, sumber daya manusia dianggap paling penting oleh pengelola hotel. Selama masa pandemi, peran pimpinan hotel, loyalitas staf, semangat tim untuk berbagi beban dan perhatian terhadap kondisi ekonomi karyawan hotel sangat mendukung ketahanan hotel dalam menghadapi krisis.
“Hotel membutuhkan resiliensi atau daya tahan untuk menghadapi berbagai gangguan dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Sumber daya manusia merupakan sumber daya yang mudah diubah atau disesuaikan untuk menghadapi tantangan, karena dapat memberi kontribusi dalam usaha membangun daya tahan hotel,” ujarnya.
Sementara sumber daya lain, seperti keuangan, fisik, alam dan beberapa faktor budaya tidak dapat beradaptasi pada saat hotel menghadapi gangguan.
Paulina adalah lulusan pertama dari Program Doktor Manajemen dan Kewirausahaan Universitas Prasetiya Mulya, program doktor bidang kewirausahaan pertama di Indonesia. Ia memiliki latar belakang sebagai pebisnis dengan jabatan CEO dan Co-Founder di Pro-Health International yang bergerak di industri kesehatan.
“Sebagai pebisnis, saya dulu menganggap bahwa keputusan-keputusan yang kami ambil dalam menangani masalah di perusahaan hanya mengandalkan intuisi. Karena kami berkutat dengan hal yang itu-itu saja, meskipun challenge pasti ada. Setelah mengikuti S3 saya baru menyadari bahwa ternyata ini ada teorinya,” ujar Paulina.
Dengan memahami teori, ia pun merasa dapat mengembangkan proses tersebut sehingga menjadi lebih kokoh, bahkan dimanfaatkan untuk mendukung training para staf di kantornya atau penelitian lain.