Jakarta, Metapos.id – Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif menanggapi kenaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang dipengaruhi fluktuasi harga minyak dunia.
Febri menilai, hal yang paling penting bagi industri adalah stabilitas pasokan dan kestabilan harga.
“Kalau kajiannya (dampak kenaikan nominal HGBT) di Kemenperin belum ada. Tapi, bagi industri yang penting itu stabilitas pasokan dan harga,” ujar Febri yang dikutip pada Jumat, 31 Januari.
Dia bilang, kenaikan harga yang tidak terlalu besar masih bisa diterima industri.
“Kalau harga naik sedikit sebenarnya, sih, tidak terlalu signifikan,” ucapnya.
Lantas, Febri mencontohkan harga HGBT untuk tujuh subsektor industri awalnya dipatok 6 dolar AS per MMBTU, tetapi pada jam tertentu bisa naik hingga 8 dolar AS atau 12 dolar AS per MMBTU.
“Kondisi ini sangat mengganggu. Tapi, kalau naik 0,5 dolar AS per MMBTU dengan pasokan tetap lancar, itu masih bisa diterima industri,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, kebijakan harga gas bumi murah alias HGBT kemungkinan tidak lagi sebesar 6 dolar AS per MMBTU (juta meter kubik).
Meski begitu, dia memastikan bahwa penerima HGBT tetap untuk tujuh sektor industri, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca dan sarung tangan karet.
“HGBT sudah tidak lagi enam dolar AS, karena sekarang harga gas dunia lagi naik. Terus yang kedua, untuk HGBT bahan bakunya dari gas itu harganya lebih rendah dari gas yang dipakai untuk energi,” kata Bahlil.
Bahlil memperkirakan, gas yang dipergunakan untuk energi harganya kurang lebih 7 dolar AS per MMBTU, sementara gas yang dipergunakan untuk bahan baku sekitar 6,5 dolar AS.
Terkait industri-industri yang bakal menerima harga gas murah, Bahlil menyebut keputusan soal itu sudah final.