Jakarta, Metapos.id – “Tak ada yang permanen kecuali perubahan,” kata Heraclitus, seorang filsus Yunani. Salah satu maksud singkat dalam ucapan ini adalah dunia berada dalam keadaan perubahaan yang konstan. Sebuah pemikiran yang mengatakan bahwa yang abadi dalam kehidupan adalah perubahan itu sendiri.
Segelintir orang mungkin dapat dengan cepat memahami konsep kalimat ini dan menyadari bahwa untuk menghadapi perubahan yang konstan, kemampuan untuk beradaptasi sangat vital untuk dimiliki. Memang, tak semua memiliki kemampuan beradaptasi. Tetapi kemampuan ini bukanlah suatu hal yang sulit untuk dipelajari. Bukanlah suatu hal di luar jangkauan.
Lalu apa sebenarnya kemampuan untuk beradaptasi? Dan bagaimana cara agar dapat beradaptasi? Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam berbagai macam keadaan. Untuk dapat beradaptasi, lumrahnya, sikap pertama yang harus dimiliki adalah dengan mempunyai sikap terbuka. Terbuka untuk menerima masukan, terbuka dalam melihat peluang, terbuka menerima perubahan.
Keterbukaan ini lah yang telah membantu Fujifilm, sebuah raksasa di dalam industri fotografi, di saat zaman menghadirkan perubahan teknologi yang signifikan. Dengan keterbukaan, Fujifilm dapat dengan mudah melakukan penyesuaian. Hebatnya, Fujifilm bukan sekedar melakukan penyesuaian, tetapi perusahaan tersebut juga terbuka dalam mencari peluang ke sektor kesehatan dan kecantikan. Keberanian ini membuat Fujifilm berhasil mempertahankan posisinya sebagai perusahaan besar yang tak gampang goyah dilanda perubahan zaman.
Selain terbuka, Fujifilm juga menjunjung tinggi sikap adil dan tidak memihak. Nilai-nilai ini lah yang menjadi budaya di Fujifilm. Budaya ini jelas menjadi energi positif bagi setiap karyawan yang berada di perusahaan. Karena tidak dapat dipungkiri, budaya perusahaan yang positif dapat mempengaruhi produktivitas dan kinerja karyawan itu sendiri.
Bijak rasanya apabila mengutip sebuah kalimat yang dilontarkan oleh seorang naturalis dan ahli geologi Inggris, Charles Darwin, “Bukan spesies terkuat yang bertahan hidup, juga bukan yang paling cerdas, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.” Dengan demikian, optimis rasanya, dengan keterbukaan, dan keinginan beradaptasi yang dimiliki Fujifilm, perusahaan asal Jepang ini akan terus mengibarkan benderanya dalam dunia usaha selama waktu mengizinkan.
Kultur perusahaan yang nyaman untuk karyawan Keterbukaan yang dilakukan oleh Fujifilm bukan hanya dikhususkan untuk faktor eksternal. Internal, keterbukaan pun menjadi sebuah kebiasaan. Di Fujifilm Indonesia, sikap terbuka langsung ditunjukkan oleh pimpinan perusahaan, yaitu Presiden Direktur Fujifilm Indonesia, Masato Yamamoto.
Masato memiliki langkah-langkah pendekatan tersendiri pada seluruh karyawan di Fujifilm Indonesia. Hal ini Ia lakukan untuk meminimalisir gap yang ada akibat perbedaan budaya ataupun jabatan.
Ia sadar bahwa menurut Teori Dimensi Budaya Hofstede-sebuah kerangka kerja yang digunakan untuk memahami perbedaan budaya antarnegara, Indonesia termasuk dalam budaya dengan jarak kekuasaan yang tinggi dan masih menganggap senioritas. Maka dari itu, Masato tak pernah segan untuk melakukan serangkaian pendekatan agar karyawannya tak segan dalam menyampaikan pendapat atau hanya sekedar berkomunikasi. Salah satu langkah konkret yang Ia lakukan adalah dengan selalu membiarkan pintu ruangannya terbuka. Dengan pendekatan ini, hierarki di atas kertas hanya tertulis sebagai formalitas.
Contoh lain keterbukaan di Fujifilm Indonesia adalah di saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Bisa dikatakan selama dua tahun, banyak usaha terkena dampak negatif dari pandemi yang tak berkesudahan ini, tak terkecuali Fujifilm Indonesia.
Langkah-langkah efisiensi saat itu perlu diambil oleh jajaran manajemen Fujifilm Indonesia. Tetapi langkah yang berat, dapat mudah dijalani dan diterima oleh seluruh karyawan. Caranya adalah dengan memaparkan kondisi dan situasi perusahaan secara terbuka dan kemudian memberikan pilihan solusi untuk kepentingan bersama. Tak ada keputusan krusial yang ditutupi oleh pihak manajemen.
“Transparansi ini lah yang menjaga Fujifilm Indonesia terhindar dari konflik internal, baik vertikal maupun horizontal,” tutur GM Finance & Accounting Fujifilm Indonesia, Rochadian Maulana.
Sikap keterbukaan yang ditunjukkan oleh Masato menjadi contoh bagi para jajaran manajemen dan karyawan, yang kemudian menjadi sebuah kultur perusahaan yang sehat. Berangkat dari pentingnya sikap keterbukaan, peran seperti “corporate culture translator”-penerjemah kultur Jepang ke Indonesia, sangat dibutuhkan di Fujifilm Indonesia. Uniknya, sebagai perusahaan yang berasal dari Jepang, di Fujifilm Indonesia, hanya ada Masato dan beberapa saja yang merupakan orang asli Jepang.
Sehingga, peran “corporate culture translator” diberikan kepada para General Manager (GM) Fujifilm Indonesia. Sebagai GM Fujifilm Indonesia, penting bagi mereka menyerap kultur Fujifilm Tokyo lalu menginternalisasikannya di Fujifilm Indonesia. Tujuannya agar nilai-nilai kultur Fujifilm Tokyo sama dengan nilai-nilai kultur Fujifilm Indonesia.
Metode kerja yang berfokus pada problem solving Untuk terus dapat berinovasi, Fujifilm Indonesia memiliki metode kerja berbasis See, Think, Plan, and Do (STPD). Hal ini berbeda dengan kebanyakan perusahaan yang memiliki metode kerja berbasis Plan, Do, Check, Act (PDCA). STPD, sebuah metode yang diciptakan oleh Fujifilm pada tahun 2005, merupakan sebuah inovasi yang berfokus pada problem solving. STPD sendiri merujuk pada cara kerja karyawan berprestasi yang mampu mengatasi sejumlah persoalan saat itu. Secara jangka panjang, tujuan dalam menggunakan metode kerja ini agar meningkatkan produktivitas, omzet, dan profit perusahaan.
Menurut GM Corporate Affairs Fujifilm Indonesia Rudy Handojo, “STPD digunakan sebagai tool untuk problem solving.” Penggunaannya diterapkan dalam pekerjaan harian para karyawan. Misal, ada karyawan yang tidak mencapai target, karyawan tersebut tidak akan langsung dihakimi oleh atasan. Dengan adanya metode STPD, karyawan tersebut akan diajak berdialog untuk mencari solusi bersama. Dengan pendekatan metode kerja seperti ini, karyawan menjadi lebih terbuka tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi, tanpa harus merasa khawatir akan diberikan sangsi.
FFID GM Corporate Affairs Rudy Handojo (Dok. FFID) Kinerja karyawan pun secara otomatis akan semakin menjadi efektif karena fokus dalam mencari solusi, bukan terkungkung dalam permasalahan. Efek samping dari metode kerja ini secara jangka panjang, membentuk iklim kerja yang supportif, menghilangkan ruang untuk saling menyalahkan.
Untuk mendukung metode kerja STPD, Fujifilm Indonesia memiliki kode etik. Kode etik yang telah disusun dibuat menjadi panduan dalam bekerja, bukan aturan kaku untuk mendikte karyawan. Karyawan pun secara sukarela mentaati kode etik yang telah ditetapkan, tanpa adanya paksaan. Kesadaran ini dilakukan karena hadirnya kultur perusahaan yang terbuka, adil dan tidak memihak. Sehingga karyawan berkerja secara profesional dan menjaga integritas dalam bekerja agar dapat menciptakan iklim kerja yang nyaman untuk semua. Budaya positif ini telah terpatri dalam diri setiap karyawan.
Dengan kultur perusahaan yang memihak pada karyawan, wajar rasanya apabila mereka merasa nyaman bekerja di Fujifilm Indonesia. Ditambah lagi, karyawan mempunyai kebebasan dalam mengemukakan ide-ide baru. Sebagai bagian dari kampanya global Fujifilm 2022, Never Stop, ruang yang telah disediakan diharapkan dapat mendorong lahirnya ide-ide atau inovasi baru. Semua karyawan dari semua divisi diajak berkreasi bersama untuk melahirkan sebuah inovasi.
Usaha Fujifilm Indonesia selaras dengan arahan, presiden, CEO dan direktur perwakilan perusahaan Fujifilm Holding Tokyo Teiichi Goto, pada April 2022.
“Setiap individual di Fujifilm harus memiliki earning power. Fujifilm telah menyediakan ruang bagi setiap karyawan untuk mengemukakan ide dan gagasan baru. Dengan keterbukaan ini, diharapkan setiap karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.”
Relasi antar karyawan juga menjadi perhatian
Selain kemudahan-kemudahan dalam bekerja yang diberikan oleh Fujifilm Indonesia, perusahaan juga mementingkan relasi antar karyawan. Selama masa pandemi Covid-19, pertemuan fisik menjadi minim. Dengan mulai terkendalinya situasi pandemi, Fujifilm Indonesia berencana menggelar kegiatan Funesday dan Lunch with President Director. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memupuk kembali hubungan sesama karyawan Fujifilm Indonesia.
Funesday sendiri adalah kegiatan minum teh atau kopi bersama yang digelar di kantor Fujifilm Indonesia. Kegiatan ini bukan dilakukan di ruang meeting, ataupun pantry kantor, tetapi sebuah area yang dinamakan Green Corner. Green Corner adalah area tempat berkumpul para karyawan Fujifilm Indonesia. Bukan hanya tempat untuk menggelar Funesday, tetapi tempat ini merupakan saksi bisu banyaknya kegiatan internal yang telah terlewati. Memori kebersamaan para karyawan terekam dengan jelas di area ini.
Ide-ide baru, inovasi yang dirancang atau sekedar canda tawa dan keluh kesah karyawan pun juga terjadi di Green Corner. Area yang dinamakan dengan warna hijau ini pun diambil dari warna perusahaan. Dengan harapan, di area hijau ini lah keberlanjutan lahirnya ide-ide dan inovasi Fujifilm Indonesia akan terus terjadi.
Selain Funesday, keunikan lain di Fujifilm Indonesia adalah kegiatan Lunch with President Director Fujifilm Indonesia, Masato Yamamoto.
Kegiatan ini dibalut oleh rasa kekeluargaan penuh simpati dan empati. Simpati untuk saling mengenal lebih dalam. Empati untuk mendengar keluh kesah guna dicarikan solusi bersama. Kegiatan ini pun jauh dari kesan formal. Sehingga karyawan dapat dengan mudah berinteraksi dengan Masato.
Dengan kehangatan yang dihadirkan oleh jajaran direksi dan manajemen Fujifilm Indonesia, wajar apabila turn-over karyawan tergolong rendah. Kenyamanan yang diciptakan membuat karyawan merasa telah menemukan tempat untuk berkarya.