Jakarta, Metapos.id – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan perlu ditunda.
Sebab, rencana kenaikan tarif PPN itu dinilai cukup tinggi jika diakumulasikan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.
“Kenaikan tarif PPN 12 persen itu kalau diakumulasi dalam 4 tahun terakhir sebenarnya naiknya 20 persen bukan 2 persen. Dari 10 persen ke 11 persen, kemudian ke 12 persen. Total, ya, 20 persen naiknya,” ujar Bhima, Rabu, 27 Maret.
Dia menilai, rencana kenaikan tarif PPN itu juga cukup membebani masyarakat di samping masih tingginya harga komoditas pangan saat ini.
“Kelas menengah sudah dihantam kenaikan harga pangan, terutama beras, suku bunga tinggi, sulitnya cari pekerjaan. Ke depan masih ditambah penyesuaian tarif PPN 12 persen. Khawatir belanja masyarakat bisa turun,” ucap Bhima.
Menurut dia, rencana kenaikan tarif PPN itu juga akan berimbas ke pelaku usaha sendiri, yang mana pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. “Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor,” tuturnya.
Di samping itu, lanjut dia, rencana kenaikan tarif PPN bukan menjadi solusi untuk menaikkan pendapatan negara. Pasalnya, jika konsumsi melambat, pendapatan negara pun dari berbagai pajak, termasuk PPN justru terpengaruh.
“(Rencana kenaikan tarif PPN) perlu ditunda dulu karena belum tepat momennya,” imbuhnya.
Sekadar informasi, pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Adapun penyesuaian tarif tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, keputusan menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025 akan menunggu keputusan pemerintahan berikutnya, yakni pasangan Capres dan Cawapres terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Terkait PPN itu UU HPP. Jadi, selama ini UU HPP bunyinya demikian, tetapi mengenai apa yang diputus tergantung pemerintah programnya nanti seperti apa,” ujar Airlangga setelah lakukan Rapat Koordinasi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) pada Jumat, 22 Maret.
Menurut Airlangga, jika memang pemerintahan baru menyetujui untuk menerapkan kebijakan tarif PPN 12 persen pada awal tahun depan, nantinya kebijakan tersebut akan masuk kedalam Undang-Undang APBN 2025.